Untuk Danau Toba, Tolong Sampaikan Saran dan Pesanku
Saya lahir di Pulau Samosir, persisnya di kota kecil Pangururan. Sampai SMA kelas 1, saya ada di sana, bersama orangtua dan sebagian anak-anak mereka. Merantau awal 1977 atas ajakan kakak-kakak, yang sebenarnya saya lebih suka sampai tamat SMA tetap di kampung dan kuliah di Medan supaya tetap dekat dng kedua orangtua, saya "baru" bisa pulang kampung 1981 karena keterbatasan dana dan masa itu tiket kapal, apalagi pesawat, terbilang mahal bagi masyarakat umumnya.
Tetapi sejak 1981 saya rutin pulang kampung, kadang saat liburan kuliah (Juni-Juli) atau merayakan Natal-Tahun Baru. Kadang bisa sebulanan di Samosir, tergantung ketersediaan waktu, dengan menumpang bus, naik kapal, dan bila bersama kakak (ito) naik pesawat. Setelah mulai kerja kantoran, 1987, pulang kampung saya lakukan saat akhir tahun, tetapi kadang bisa dua tiga kali dalam setahun karena Inong (ibu) sakit dan dirawat di RS (Pangururan, Balige, atau Medan).
Pangururan, Samosir, Danau Toba, selalu memanggil saya pulang. Pula, asyiknya bertemu kawan-kawan dan kerabat, selain bisa "kembali" jadi anak ayah-bunda yang senantiasa diguyuri perhatian (smile emotikon) Sengaja saya menikah terlambat (masuk usia 31 tahun) hanya supaya kedekatan dengan orangtua, kebebasan pulang kampung dan jalan-jalan ke berbagai wilayah, tak terganggu. Mumpung masih lajang, bebas bepergian, tergantung isi dompet. (smile emotikon).
Tetapi ternyata, karena Inong sering sakit (diabetes, rheumatik), saya tetap dipanggil menjenguknya manakala kambuh, kadang saya langsung dari Jakarta-Medan-Balige, tanpa mampir di Pangururan. (Inong saya ini memang agak lain manjanya ke saya, padahal, saya anaknya nomor sembilan dari 11 bersaudara, macam kesebelasan sepakbola grin emotikon ) Satu cucunya yang sejak bayi ikut dia, Citra E Naibaho, sering menanyakan itu: "Kenapa hanya Tulang Hunan dicari Inong kalo lagi sakit." (Dia ikut memanggil ibuku "inong" bukan ompung). Tanpa bermaksud "mardingkan" (pilih kasih) pada anak-anaknya, ada jawaban khas si Inong yang sebaiknya tak usah kutuliskan di sini, bisa menimbulkan kecemburuan bagi putra-putrinya yang lain. (smile emotikon).
Walau telah menikah dan kebetulan mertua di Sumut pula (Sibolga), saya atau kami, rutin pulang ke Samosir. Kadang karena ada "ulaon adat." Selain ke Pangururan, kampung asal leluhur-orangtua (bapak), yakni Desa Sabulan pun wajib dikunjungi, bisa tiga harian di sana. Bahkan meski Inong tak ada lagi (meninggal dunia persis 1 Januari 1997) dan bapak (Among, meninggal akhir September, 2002), saya dan keluarga tetap pulang, merayakan Natal atau Tahun Baru--kadang di Sibolga, dipilih, Natal atau Tahun Baru, supaya adil (smile emotikon) .
Sejak menikah, hanya sekali saja kami merayakan Natal & Tahun Baru di Jakarta, itupun karena si bontot (Ayu) mbronjol ke bumi ini pada 19 Desember 1999. smile emotikon Selanjutnya, kami ke Samosir dan Sibolga setiap akhir tahun. Ketiga anak telah terbiasa ke kampung halaman sejak balita, sampai mereka segede-gede bagong kayak sekarang grin emotikon Saya sengaja mengenalkan dan "mengikat" mereka ke Bonapasogit (kampung asal) dan berharap sampai seterusnya mereka tetap memiliki ikatan bathin dng "huta," tak soal apakah kelak mereka akan bermukim di belahan dunia mana atau menikah dng suku-bangsa apa. Huta, marga, tak boleh mereka lupakan (Batak banget ya saya smile emotikon ).
Senangnya, mereka suka, enjoy, menikmati, dan sering mengaku kangen--terutama ke Pangururan dan Sabulan. Namun, setelah ompung mereka tak ada lagi dan rumah peninggalan--tempat masa laluku--di Jln Kejaksaan No. 8 Pangururan disewakan ke orang lain, kami praktis menginap di hotel (persisnya jenis motel). Hampir semua hotel di Pangururan telah pernah kami inapi, selain beberapa hotel di Tuktuk-Ambarita. Setelah mengenal ito Annette Horschmann sekitar 2006 dan ternyata perempuan Jerman yang menikah dng lae Silalahi itu memiliki cottage di tuktuk, kami pun beralih ke sana--setelah atau sebelum ke Pangururan.
Menurut kami, Tabo Cottage-lah penginapan terbaik di kawasan Samosir saat ini, termasuk pelayanan atau hospitality. Istri dan ketiga anak sangat suka, terakhir bersama keluarga besar Nainggolan (mertua), sengaja kami pilih cottage ini merayakan pergantian tahun, 2015-2016.
Tanpa bermaksud memburuk-burukkan, tak ada hotel atau cottage di sekitar Pangururan yang memuaskan, walau harga kamar 500 ribu rupiah ke atas per malam. Fasilitas, terutama pelayanan, masih amatiran.
Kadang menjengkelkan, namun karena "terlanjur" jatuh hati dan terikat pada Pangururan, mau tak mau harus menginap di hotel atau cottage yang ala kadar, lumayan mahal, namun view-nya keren banget.
Ikhwal miskinnya pelayanan di hotel atau penginapan di kawasan Samosir, telah kelewat sering kubicarakan dng kawan-kawan, kerabat, juga para pemilik penginapan di sana. Jawaban atau kesimpulan (sementara), susah mendapat SDM yang "service minded" atau berorientasi pelayanan pada tetamu hotel. Berbagai pandangan pun disampaikan mengapa demikian.
Akhirnya saya menyimpulkan, penyebab bukan hanya karena karakter, sifat, atau mentalitas orang-orang Sumut (bukan hanya etnis Batak) yang kurang siap memberi hospitality. Juga karena umumnya para pekerja hotel/penginapan tidak cukup paham tuntutan menjadi pekerja hotel. Umumnya memang bukan berlatar belakang pendidikan kepariwisataan. Yang kedua, dugaan saya, orang-orang di Sumut (lebih spesifik di kawasan Danau Toba), belum menganggap pekerjaan mereka atau kedudukan mereka sebagai pegawai perhotelan, sesuatu yang sama derajatnya dng pekerja/pegawai di perusahaan, apalagi PNS.
Artinya, masih banyak yang menganggap itu pekerjaan "loncatan", sementara, sebelum menemukan tempat kerja yang lebih diharapkan dan bergengsi. Mereka lebih suka merantau ke Medan, Batam, Riau, Pulau Jawa, atau Malaysia, meskipun di sana memburuh juga dan income tak jauh beda dng menjadi pekerja hotel di kawasan Danau Toba. Tak bisa disalahkan, tentu.
Misalkan saya dekat dng bupati-bupati yang bersentuhan dng Danau Toba, dalam rangka menyambut pengembangan wisata yang nampaknya akan serius digalakkan pemerintah, maka pendirian sekolah/kampus pariwisata, akan saya usulkan menjadi prioritas--selain pendirian balai latihan kerja, sekolah perawat/pekerja medis dng materi tambahan bahasa asing (Inggris, Jepang, dll) yang dibutuhkan dunia usaha, baik di dalam negeri maupun di luar.
Adakah kalian di antara sobat dan kerabat dunia maya yang bisa menyampaikan pada beliau-beliau? Tolong ya..., sampaikan pula pesanku supaya mulai memprioritaskan kebersihan, terlepas dari tujuan untuk mengundang banyak turis, kebersihan lingkungan, danau, patutlah dipentingkan. Supaya tetap cantik Danau Toba dan Bonapasogit kita itu.
Semoga tak lantas dikatakan bapak-bapak pejabat itu: "Siapa dia kok lancang mengajari kita?! Siapaaa rrrruuupanya Situmorang yang satu itu?! Apa jabatannya di Zakaaarta!" Maufff deh gue grin emotikon ***
Penulis : Suhunan Situmorang
Lokasi : Face Book, Jumat 18 Maret 2016
Judul asli : Tolong Sampaikan Saran & Pesanku
Kapal di Danau Toba Samosir. Photo / FB.Suhunan Situmorang |
Pangururan, Samosir, Danau Toba, selalu memanggil saya pulang. Pula, asyiknya bertemu kawan-kawan dan kerabat, selain bisa "kembali" jadi anak ayah-bunda yang senantiasa diguyuri perhatian (smile emotikon) Sengaja saya menikah terlambat (masuk usia 31 tahun) hanya supaya kedekatan dengan orangtua, kebebasan pulang kampung dan jalan-jalan ke berbagai wilayah, tak terganggu. Mumpung masih lajang, bebas bepergian, tergantung isi dompet. (smile emotikon).
Tetapi ternyata, karena Inong sering sakit (diabetes, rheumatik), saya tetap dipanggil menjenguknya manakala kambuh, kadang saya langsung dari Jakarta-Medan-Balige, tanpa mampir di Pangururan. (Inong saya ini memang agak lain manjanya ke saya, padahal, saya anaknya nomor sembilan dari 11 bersaudara, macam kesebelasan sepakbola grin emotikon ) Satu cucunya yang sejak bayi ikut dia, Citra E Naibaho, sering menanyakan itu: "Kenapa hanya Tulang Hunan dicari Inong kalo lagi sakit." (Dia ikut memanggil ibuku "inong" bukan ompung). Tanpa bermaksud "mardingkan" (pilih kasih) pada anak-anaknya, ada jawaban khas si Inong yang sebaiknya tak usah kutuliskan di sini, bisa menimbulkan kecemburuan bagi putra-putrinya yang lain. (smile emotikon).
Walau telah menikah dan kebetulan mertua di Sumut pula (Sibolga), saya atau kami, rutin pulang ke Samosir. Kadang karena ada "ulaon adat." Selain ke Pangururan, kampung asal leluhur-orangtua (bapak), yakni Desa Sabulan pun wajib dikunjungi, bisa tiga harian di sana. Bahkan meski Inong tak ada lagi (meninggal dunia persis 1 Januari 1997) dan bapak (Among, meninggal akhir September, 2002), saya dan keluarga tetap pulang, merayakan Natal atau Tahun Baru--kadang di Sibolga, dipilih, Natal atau Tahun Baru, supaya adil (smile emotikon) .
Sejak menikah, hanya sekali saja kami merayakan Natal & Tahun Baru di Jakarta, itupun karena si bontot (Ayu) mbronjol ke bumi ini pada 19 Desember 1999. smile emotikon Selanjutnya, kami ke Samosir dan Sibolga setiap akhir tahun. Ketiga anak telah terbiasa ke kampung halaman sejak balita, sampai mereka segede-gede bagong kayak sekarang grin emotikon Saya sengaja mengenalkan dan "mengikat" mereka ke Bonapasogit (kampung asal) dan berharap sampai seterusnya mereka tetap memiliki ikatan bathin dng "huta," tak soal apakah kelak mereka akan bermukim di belahan dunia mana atau menikah dng suku-bangsa apa. Huta, marga, tak boleh mereka lupakan (Batak banget ya saya smile emotikon ).
Senangnya, mereka suka, enjoy, menikmati, dan sering mengaku kangen--terutama ke Pangururan dan Sabulan. Namun, setelah ompung mereka tak ada lagi dan rumah peninggalan--tempat masa laluku--di Jln Kejaksaan No. 8 Pangururan disewakan ke orang lain, kami praktis menginap di hotel (persisnya jenis motel). Hampir semua hotel di Pangururan telah pernah kami inapi, selain beberapa hotel di Tuktuk-Ambarita. Setelah mengenal ito Annette Horschmann sekitar 2006 dan ternyata perempuan Jerman yang menikah dng lae Silalahi itu memiliki cottage di tuktuk, kami pun beralih ke sana--setelah atau sebelum ke Pangururan.
Menurut kami, Tabo Cottage-lah penginapan terbaik di kawasan Samosir saat ini, termasuk pelayanan atau hospitality. Istri dan ketiga anak sangat suka, terakhir bersama keluarga besar Nainggolan (mertua), sengaja kami pilih cottage ini merayakan pergantian tahun, 2015-2016.
Tanpa bermaksud memburuk-burukkan, tak ada hotel atau cottage di sekitar Pangururan yang memuaskan, walau harga kamar 500 ribu rupiah ke atas per malam. Fasilitas, terutama pelayanan, masih amatiran.
Kadang menjengkelkan, namun karena "terlanjur" jatuh hati dan terikat pada Pangururan, mau tak mau harus menginap di hotel atau cottage yang ala kadar, lumayan mahal, namun view-nya keren banget.
Ikhwal miskinnya pelayanan di hotel atau penginapan di kawasan Samosir, telah kelewat sering kubicarakan dng kawan-kawan, kerabat, juga para pemilik penginapan di sana. Jawaban atau kesimpulan (sementara), susah mendapat SDM yang "service minded" atau berorientasi pelayanan pada tetamu hotel. Berbagai pandangan pun disampaikan mengapa demikian.
Akhirnya saya menyimpulkan, penyebab bukan hanya karena karakter, sifat, atau mentalitas orang-orang Sumut (bukan hanya etnis Batak) yang kurang siap memberi hospitality. Juga karena umumnya para pekerja hotel/penginapan tidak cukup paham tuntutan menjadi pekerja hotel. Umumnya memang bukan berlatar belakang pendidikan kepariwisataan. Yang kedua, dugaan saya, orang-orang di Sumut (lebih spesifik di kawasan Danau Toba), belum menganggap pekerjaan mereka atau kedudukan mereka sebagai pegawai perhotelan, sesuatu yang sama derajatnya dng pekerja/pegawai di perusahaan, apalagi PNS.
Artinya, masih banyak yang menganggap itu pekerjaan "loncatan", sementara, sebelum menemukan tempat kerja yang lebih diharapkan dan bergengsi. Mereka lebih suka merantau ke Medan, Batam, Riau, Pulau Jawa, atau Malaysia, meskipun di sana memburuh juga dan income tak jauh beda dng menjadi pekerja hotel di kawasan Danau Toba. Tak bisa disalahkan, tentu.
Misalkan saya dekat dng bupati-bupati yang bersentuhan dng Danau Toba, dalam rangka menyambut pengembangan wisata yang nampaknya akan serius digalakkan pemerintah, maka pendirian sekolah/kampus pariwisata, akan saya usulkan menjadi prioritas--selain pendirian balai latihan kerja, sekolah perawat/pekerja medis dng materi tambahan bahasa asing (Inggris, Jepang, dll) yang dibutuhkan dunia usaha, baik di dalam negeri maupun di luar.
Adakah kalian di antara sobat dan kerabat dunia maya yang bisa menyampaikan pada beliau-beliau? Tolong ya..., sampaikan pula pesanku supaya mulai memprioritaskan kebersihan, terlepas dari tujuan untuk mengundang banyak turis, kebersihan lingkungan, danau, patutlah dipentingkan. Supaya tetap cantik Danau Toba dan Bonapasogit kita itu.
Semoga tak lantas dikatakan bapak-bapak pejabat itu: "Siapa dia kok lancang mengajari kita?! Siapaaa rrrruuupanya Situmorang yang satu itu?! Apa jabatannya di Zakaaarta!" Maufff deh gue grin emotikon ***
Penulis : Suhunan Situmorang
Lokasi : Face Book, Jumat 18 Maret 2016
Judul asli : Tolong Sampaikan Saran & Pesanku
Tidak ada komentar