Batak Go International, Bermula di Sianjur Mula-Mula
SAMOSIR,- BATAK, salah satu etnis di Indonesia yang sangat kaya budaya dan kearifan lokal. Setali tiga uang dengan etnis lain, Batak pun mengalami kemunduran. Jangankan suku bangsa lain, bahkan suku Batak sendiri banyak yang mulai kehilangan jejak, terutama generasi muda. Lebih utama, keturunan Batak perantauan.
Beruntung, suku apa pun di Nusantara, pada galibnya memiliki semacam ruh, yang akan bersemayam dan turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Karena itulah, selalu saja ada anggota etnis yang peduli dan getol melabelkan “pelestari budaya” pada setiap gerak dan langkahnya.
Salah satu contoh adalah keberadaan Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula yang terletak di kawasan Huta Balian, Dusun III, Desa Sianjur Mula-Mula, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Para panatua tokoh adat mendukung berdirinya rumah belajar tersebut. Tidak saja mendukung secara moral, tetapi ikut menyediakan fasilias rumah adat beserta konsumsi kepada para relatan budaya Batak yang meleburkan diri di dalamnya.
Aktivitas Rumah Belajar Sianjur Mula-Mulia dimulai tanggal 25 Otober 2015. Digagas karena keprihatinan. Prihatin atas memudarnya pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai luhur yang berkembang turun-temurun di tanah Batak. Pilihan pada bentuk rumah belajar, didasarkan pada alasan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang memasuki khasanah pengetahuan.
Hal itu diutarakan pendiri Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula, Nagoes Puratus Sinaga kepada Jayakartanews yang bertandang ke Samosir beberapa waktu lalu. “Di sini, para murid diberi bekal pelajaran tentang budaya dan adat istiadat, dengan muara mereka akan menjadi pelestari budaya dan t tradisi Batak ke depan,” ujarnya.
Nagoes menjelaskan saat ini muridnya 35 orang, yang secara tekun belajar mulai pukul 15.00 – 17.00 WIB setiap hari, kecuali Rabu. “Kami memiliki empat orang guru relawan, baik yang berasal dari kecamatan Sianjur Mula-Mula maupun kecamatan lain. Kalau sampai terjadi guru relawan tidak hadir, maka murid senior akan bertindak sebagai guru bagi yang lain,” tambahnya.
“Konsep di rumah belajar bukan hanya berpatokan terhadap pendidikan informal, tetapi bagaimana pendidikan formal digabungkan dengan konsep pendidikan informal. Misal, mengajarkan mereka untuk membudidayakan lingkungan, belaar budaya dan kesenian Batak,” ujar Nagoes.
Jika di sekolah umum, muatan lokal hanya sedikit, maka di sini, jauh lebih banyak. Para murid bisa lebih mendalam mempelajari tor tor, silat batak (mocat), alat musik seruling, taganing, genang, mengenal hari-hari penanggalan Batak, dan opera yang dikemas dalam permainan tradisional.
Konsep sekolah alam juga diperkenalkan di sini Para murid belajar di sawah, di pegunungan, bahkan di sungai atau di tepi danau Toba. Dengan begitu, kata Nagoes, para murid bisa mempelajari proses atau hubungan antara alam dan manusia. “Contoh kecil begini…. Dengan mengajari mereka cara bercocok tanam padi, maka anak-anak jadi lebih bisa mengapresiasi setiap bulir nasi yang dimakan. Dia akan lebih menghargai makanan. Jika sudah mengenal, saya perhatikan doa mereka sebelum makan menjadi lebih penuh penghayatan,” ujarnya.
Nagoes juga mengisahkan, bahwa rumah belajar yang didirikannya pernah mendapat kunjungan tamu-tamu asing. Di antaranya Orquesta de Cámara de Siero (OCAS) atau Siero Chamber Orchestra dari Spanyol. Rombongan berjumlah 80 orang itu datang dalam rangkaian tur internasional Vinculos Indonesia 2017. Dari Negara Belanda juga pernah ada yang datang. Jika rombongan Spanyol bertukar ilmu tentang musik, maka tamu-tamu dari Belanda mengajarkan soal budaya merawat kebersihan kampung, kebersihan diri, dan budaya membuang sampah pada tempatnya.
Saat ini rumah belajar Sianjur Mula-Mula akan membuka cabang di lima desa antara lain Sarimarihit, Aek Sipitudai, Naboran Habehan, Sikam, dan Siboro. “Pihak para orang tua adat di desa-desa itu yang meminta,” kata Nagoes.
Sementara itu, seorang pengunjung Ricardo Hutabarat (43) yang datang dari Jakarta mengatakan sangat senang melihat rumah belajar Sianjur Mula Mula, dimana anak-anak menggunakan kain sarung dan diajari mengenai kearifan lokal. Menurutnya, ini merupakan investasi yang baik untuk mempelajari dan melastarikan budaya Batak.
Pengunjung lain, Emil Murphy (43) yang datang dari Medan mengaku kagum. “Saya kagum melihat anak-anak tertib melakukan apa yang dikatakan guru. Misal, serentak menyebutkan nama hari batak, bernyanyi dan menyebutkan yel-yel setiap kelompok. Misal kelompok Muncheng Munthe meneriakkan yel-yel ‘bangkit bersatu bergerak berkreasi dan berbudaya’,” ujar Emil seraya menyesalkan, peralatan seni tampak masih kurang. ***
Sumber : monang
Beruntung, suku apa pun di Nusantara, pada galibnya memiliki semacam ruh, yang akan bersemayam dan turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Karena itulah, selalu saja ada anggota etnis yang peduli dan getol melabelkan “pelestari budaya” pada setiap gerak dan langkahnya.
Monang Sitohang bersama anak - anak di Rumah Belajar Sianjur Mula Mula, |
Aktivitas Rumah Belajar Sianjur Mula-Mulia dimulai tanggal 25 Otober 2015. Digagas karena keprihatinan. Prihatin atas memudarnya pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai luhur yang berkembang turun-temurun di tanah Batak. Pilihan pada bentuk rumah belajar, didasarkan pada alasan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang memasuki khasanah pengetahuan.
Hal itu diutarakan pendiri Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula, Nagoes Puratus Sinaga kepada Jayakartanews yang bertandang ke Samosir beberapa waktu lalu. “Di sini, para murid diberi bekal pelajaran tentang budaya dan adat istiadat, dengan muara mereka akan menjadi pelestari budaya dan t tradisi Batak ke depan,” ujarnya.
Nagoes menjelaskan saat ini muridnya 35 orang, yang secara tekun belajar mulai pukul 15.00 – 17.00 WIB setiap hari, kecuali Rabu. “Kami memiliki empat orang guru relawan, baik yang berasal dari kecamatan Sianjur Mula-Mula maupun kecamatan lain. Kalau sampai terjadi guru relawan tidak hadir, maka murid senior akan bertindak sebagai guru bagi yang lain,” tambahnya.
“Konsep di rumah belajar bukan hanya berpatokan terhadap pendidikan informal, tetapi bagaimana pendidikan formal digabungkan dengan konsep pendidikan informal. Misal, mengajarkan mereka untuk membudidayakan lingkungan, belaar budaya dan kesenian Batak,” ujar Nagoes.
Jika di sekolah umum, muatan lokal hanya sedikit, maka di sini, jauh lebih banyak. Para murid bisa lebih mendalam mempelajari tor tor, silat batak (mocat), alat musik seruling, taganing, genang, mengenal hari-hari penanggalan Batak, dan opera yang dikemas dalam permainan tradisional.
Rumah Belajar Sianjur Mula Mula, Nagoes Puratus Sinaga bersama
murid-murid dan pengunjung di depan rumah belajar. Foto : Monang Sitohang |
Nagoes juga mengisahkan, bahwa rumah belajar yang didirikannya pernah mendapat kunjungan tamu-tamu asing. Di antaranya Orquesta de Cámara de Siero (OCAS) atau Siero Chamber Orchestra dari Spanyol. Rombongan berjumlah 80 orang itu datang dalam rangkaian tur internasional Vinculos Indonesia 2017. Dari Negara Belanda juga pernah ada yang datang. Jika rombongan Spanyol bertukar ilmu tentang musik, maka tamu-tamu dari Belanda mengajarkan soal budaya merawat kebersihan kampung, kebersihan diri, dan budaya membuang sampah pada tempatnya.
Saat ini rumah belajar Sianjur Mula-Mula akan membuka cabang di lima desa antara lain Sarimarihit, Aek Sipitudai, Naboran Habehan, Sikam, dan Siboro. “Pihak para orang tua adat di desa-desa itu yang meminta,” kata Nagoes.
Sementara itu, seorang pengunjung Ricardo Hutabarat (43) yang datang dari Jakarta mengatakan sangat senang melihat rumah belajar Sianjur Mula Mula, dimana anak-anak menggunakan kain sarung dan diajari mengenai kearifan lokal. Menurutnya, ini merupakan investasi yang baik untuk mempelajari dan melastarikan budaya Batak.
Pengunjung lain, Emil Murphy (43) yang datang dari Medan mengaku kagum. “Saya kagum melihat anak-anak tertib melakukan apa yang dikatakan guru. Misal, serentak menyebutkan nama hari batak, bernyanyi dan menyebutkan yel-yel setiap kelompok. Misal kelompok Muncheng Munthe meneriakkan yel-yel ‘bangkit bersatu bergerak berkreasi dan berbudaya’,” ujar Emil seraya menyesalkan, peralatan seni tampak masih kurang. ***
Sumber : monang
Tidak ada komentar