Danau Toba : Perempuan yang Diperkosa Oleh Anak-anaknya Sendiri

Kecintaan masyarakat terhadap Danau Toba dipalikasikan melalui berbagai kegiatan, baik seminar, wisata, maupun membentuk kelompok-kelompok pecinta Danau Toba.

Kali ini kecintaan masyarakat terhadap Danau Toba itu dilakukan dengan melaksanakan  Sarasehan. Dalam sarasehan itu terdapat merbagai kritik, saran dan pendapat, inilah salah satu tulisan hasil dari sarasehan itu.

Tulisan yang berjudul "Danau Toba : Perempuan yang Diperkosa Oleh Anak-anaknya Sendiri" membuat kita harus bertanya, apakah benar kita tegah harus "memperkosa" ibu sendiri, simak tulisan Daniel Taruliasi Harahap. diakun facebooknya pada Senin (10/12/2018) ketika mengikuti dan menjadi narasumber sarasehan Diaspora Batak.

Danau Toba/Dok.DTC
 Simak tulisan Pendeta  Daniel Taruliasi Harahap pecinta alam dan Danau Toba ini :

Pertama:

Entah kenapa saya diundang mengikuti dan menjadi narasumber sarasehan diaspora Batak. Sebagian pesertanya Batak yang lama bermukim di Jerman, Prancis, Italia dan Malaysia. Sebagian lagi Batak yang datang dari Jakarta, Medan atau Borneo seperti saya. Dan sebagian lagi Batak dan atau Jerman yang hidup di sekitar danau Toba. Fasilitatornya: Badan Pengelola Otorita Danau Toba.

Dari segi asal-usul saya ini orang Angkola yang berjarak lebih dari 100 km dari danau Toba dan tak bersentuhan langsung dengan danau hasil ledakan vulkanologi Toba lima ribu tahun silam. Saya sendiri lahir dan besar di Medan dan tidak pernah bermukim di Toba. Ibu saya almarhum boru Hutabarat memang besar di Laguboti Toba Holbung. Dan saya sejak kecil bila liburan kerap mandi di danau Toba bersama kerbau dan bebek. Mertua saya Siregar asal Muara, salah satu sudut paling cantik dari danau Toba. Jadi apa alasannya mengikutsertakan saya dalam sarasehan ini? Saya bukan ahli geologi atau ekologi apalagi bisnis parawisata. Satu2nya alasan yang masuk akal adalah mungkin karena saya pendeta HKBP. Mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba beragama eh maaf bergereja HKBP. Langsung tak langsung HKBP bertanggungjawab atas Danau Toba. Tapi kenapa harus saya yang justru tidak pernah melayani di Toba dan tidak juga memiliki wewenang mengatasnamakan HKBP secara keseluruhan, dan sekarang melayani di jemaat kecil Balikpapan Kaltim? Alasan lain yang lebih masuk akal karena saya pegiat media sosial Batak Kristen dan HKBP. Entah apalah itu, yang nyata saya diongkosi untuk hadir dan diminta bicara.

Kedua:

Sejujurnya saya sangat merasa terhormat dan mendapat berkat diundang ke sarasehan diaspora ini. Saya berjumpa dengan orang-orang baik sebab itu hebat yang namanya sudah lama saya dengar namun belum pernah berinteraksi fisik.

Saya berjumpa dengan Toni P Sianipar penyelenggara pameran buku internasional 24 jam di ICE BSD yang wow bagi saya. Ada Lena Simanjuntak pegiat opera Batak Perempuan di Tepi Danau yg sudah lama bermukim di Jerman.

Ada Annette Horschmann seorang perempuan Jerman yg sudah seperempat abad tinggal di Tuktuk dan mengusahakan Tabo Cottage. Ada Sebastian Hutabarat pengusaha pizza andaliman Balige sekaligus pejuang lingkungan yang sangat gigih.

Ada Mahendra Tlapta Sitepu ahli teknologi digital. Ada Johnson Siahaan pembuat video parawisata yg membuat saya terkagum-kagum dengan drone-nya. Ada Ratnauli Gultom petani dan pelopor eko-turisme dan pengusaha mango-wine dari Silimalombu (dijamin banyak anggota group ini tak tahu dimana itu Silimalombu).

Ada kawan saya dari milis HKBP yang 90-an Rudolf X. Damanik "Alof" yang Katolik. Ada St Choky Pakpahan Sugiama konduktor segala abad. Ada Ren Lumbantobing yang sangat menguasai ilmu perhotelan.

Ada Sargon Manurung yang menbangun kembali rumah pusaka nenek moyangnya yang terbakar di Jangga Dolok. Dan ada Rahmad Manurung kepala desa Jangga Dolok yang sangat visioner. Ada Basar Simanjuntak adik kelas saya di Immanuel Medan yang kini Direktur BPODT.

 Dan banyak lagi. Dan di kapal saya berjumpa dengan maestro Tony Siagian dengan concolatio choirnya yang sangat setia menyanyikan Buku Ende dan menguploadnya di youtube. Ada teman2 facebook Deacy Maria Lumbanraja dan Nenty Harianja.

Saya percaya tiap-tiap perjumpaan dengan orang baik dan otentik adalah rahmat Tuhan dan mendatangkan sukacita dan inspirasi baru. Saya merasa sangat disegarkan, diperkaya, dan dicerahkan bukan saja oleh capaian2 kawan2 ini melainkan juga oleh problem2 real Danau Toba dan kebatakan yang ada. Tuhan memang baik.

Daniel Taruliasi Harahap/FB
 Ketiga: 

Lantas apa kontribusi saya kepada sarasehan ini? Saya bukan ahli ekonomi. Bukan ahli planologi. Bukan pengusaha. Saya cuma seorang pendeta di salah satu akar rumput HKBP yang mencintai gereja dan alam dengan cinta tak sempurna.

Saya memutuskan tak bicara hal-hal teknis parawisata yang tak saya kuasai. Saya juga tak mau sok ilmiah. Saya hanya mau bicara apa yang ada dalam hati dan pikiran saya sendiri, berdasarkan pengalaman hampir 30 tahun berinteraksi dengan kebatakan, kekristenan dan modernitas. Pergumulan saya bertahun-tahun: saya ingin menjadi Batak, Kristen dan Moderen sekaligus pada saat yang sama.

Dan saya ingin mendidik warga jemaat yang dipercayakan kepada saya juga 100% Batak, 100% Kristen dan 100% Moderen pada saat yang sama. Bukan hari Senin sd Jumat menjadi orang moderen, Sabtu jadi orang Batak dan Minggu jadi orang Kristen.

Dengan kata2 lain sudah belasan tahun ini saya bergumul: nilai-nilai apakah yang dapat mempertemukan kebatakan, kekristenan dan modernitas saya? Apakah hal2 yang dianggap penting dalam kebatakan, dianggap penting juga dalam kekristenan dan dianggap penting pula dalam dunia moderen. Saya bukan batak prakristen dan pramoderen! Saya bukan kristen tanpa akar budaya dan juga bukan kristen masa lampau. Saya bukan orang moderen yang tak beriman dan tak berleluhur.

Saya pikir tema ini sangat relevan dengan diaspora Batak. Juga relevan dengan pengembangan danau Toba sebagai tujuan wisata internasional. Kita, baik yang tinggal di bona pasogit maupun parserahan atau diaspora memerlukan nilai-nilai yang dijunjung bersama. Dalam membangun budaya maupun ekonomi termasuk parawisata kita juga butuh nilai2 yang sama.

Pergumulan dan pengalaman sebagai pendeta yang melayani di HKBP selama hampir tiga puluh tahun saya menemukan minimal ada 5(lima) nilai yang mempertemukan kebatakan, kekristenan dan modernitas.

Nilai pertama: transparansi (hapataran). Ini adalah nilai yang sangat dijunjung oleh kebatakan. Orang2 Batak pada dasarnya adalah orang2 yang suka berterus-terang, jujur dan terbuka. Kita adalah "sihunti rere" (hurufiah: sejenis serangga yang tidak bisa melipat atau menyembunyikan sayapnya). Seluruh istilah Batak yang menunjuk kepada keterbukaan selalu berkonotasi positif (andar, ungkap, patar, tiur, tedek, torang dll). Sebaliknya semua istilah yang menunjuk kepada ketertutupan selalu berkonotasi negatif (huphup, buni, semo, golap, dll). Dimana ada keterbukaan disana ada damai. Tuntutan keterbukaan atau transparansi ini semakin diperkuat dengan tingginya kecurigaan dan ketakutan di kalangan orang Batak. Keterbukaan selalu menghilangkan rasa curiga atau takut.

Transparansi atau hapataran yang sangat diagungkan oleh kultur Batak ternyata juga dijunjung oleh kekristenan. Alkitab sejak awal menyatakan Allah berperang melawan kegelapan. Yesus adalah Terang Dunia yang datang menyingkirkan kegelapan dan menyingkapkan segala rahasia. Dan Yesus meminta murid2Nya hidup dalam terang atau transparansi.

Dan sangat menarik bahwa kultur moderen dan milenial juga menjunjung transparansi dan menjadikannya kata kunci. Kita hidup di jaman transparansi atau keterbukaan di segala hal baik politik, ekonomi maupun budaya.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana nilai transparansi itu dalam komunitas batak, kristen dan moderen. Tiga kali lipat! Sebab itu saya berani bertaruh semua organisasi atau program atau kebijakan yang tidak transparan di kalangan batak kristen moderen pasti akan mengalami ketegangan, konflik, dan kehancuran. Itu berlaku bagi organisasi keagamaan. Juga berlaku bagi pemerintahan. Juga bagi program parawisata Danau Toba. Ingat ini: tak ada keterbukaan tak ada juga damai.

Nilai kedua: partisipasi (parsidohotan, parjambaran). Kultur Batak bersifat partisipatif dan eksperiensial. Orang Batak tidak suka hanya menjadi penonton termasuk dalam konflik atau perkelahian. Orang Batak selalu ingin terlibat dan berperan dimanapun dia berada. Ketika orang Batak tidak diijinkan terlibat dan berperan dalam suatu institusi maka kemungkinannya hanya ada dua. Jika dia kuat maka sadar tak sadar dia akan merusak institusi ini.

Namun jika dia lemah maka dia akan pergi dan menyingkir. Hamu ma disi. Sebaliknya dimana orang Batak diberi bagian peran dan kedudukan maka dia akan membela mati2an institusi itu kalau perlu berkorban. Saya punya banyak contoh untuk membuktikannya. Mengapa laki2 Batak itu tahan di pesta adat dari pagi sampai malam? Jawabnya: karena disana dia punya peran, tanggungjawab dan kedudukan. Sebaliknya kenapa laki2 Batak yg bukan sintua malas ke gereja? Jawabnya: karena dia tidak punya peran di sana. Sebab itu jika ingin suatu lembaga Batak termasuk BPODT sukses junjunglah pendekatan partisipatif. Libatkanlah dan ajaklah bicara sebanyak-banyaknya orang.

Tortor Batak adalah ritus bukan show. Saya tidak pernah bisa menikmati tortor batak sebagai pertunjukan. Namun saya menghayatinya sebagai upacara yang khidmad. Dalam tortor tak ada penonton. Yang ada peserta atau partisipan.

Jangan borong atau monopoli semua peran dan kedudukan. Jangan anggap remeh masalah parjambaran juga di dunia politik maupun keagamaan.

Partisipasi (parsidohotan, parjambaran) juga adalah hal yang sangat penting dalam kekristenan. Allah datang ke dalam dunia untuk berpartisipasi dalam kehidupan dunia ini dan mengajak orang2 percaya mengambil bagian dalam kehidupanNya. Ibadah Kristen bukanlah show melainkan partisipasi dalam kehidupan Allah.

Gereja Kristus adalah arak-arakan orang-orang yang telah ditebus bukan pemerintahan tunggal atau elit kaum klerus. Dalam Baptisan Kudus kita mati dan bangkit bersama Kristus. Dan dalam Perjamuan Kudus kita menerima tubuh dan darah Yesus. Itulah wujud partisipasi yang paling dalam.

Partisipasi juga merupakan nilai utama dalam kehidupan moderen. Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk Rakyat. Kebenaran ditemukan dan dirumuskan bersama-sama banyak orang. Kehidupan dikelola bersama untuk kepentingan bersama.

Anda bisa bayangkan apa yang terjadi jika suatu organisasi yang beranggotakan orang-orang Batak, Kristen moderen menolak atau mengabaikan partisipasi atau parsidohotan banyak orang? Ketegangan luar biasa dan konflik yang berujung perpecahan atau kemunduran hebat. Itu berlaku di pemerintahan, adat juga keagamaan. Termasuk urusan danau Toba ini.

Nilai ketiga: kesetaraan (hadosan). Sejalan dengan nilai kedua maka nilai ketiga yang sangat penting dalam kultur Batak adalah kesetaraan atau egalitarianisme atau hadosan. Semua orang Batak merasa dirinya orang terhormat atau raja. Batak pada dasarnya tidak mengenal kasta. Dalam adat domestik Batak selalu ada pergiliran peran dan kedudukan. Orang tak bisa selamanya menjadi hulahula yg dilayani dan tidak selamanya juga jadi boru yang melayani. Peran-peran digilir dan berganti. Mengapa? Karena semua adalah orang terhormat atau raja. Dan semua orang ingin menunjukkan eksistensi dirinya dan mengaktualisasi dirinya.

Itulah sebabnya susunan tempat duduk dalam even2 Batak adalah melingkar atau berhadap-hadapan menunjukkan semua pihak setara dan sama2 terhormat (susunan kursi model teater dalam gereja batak membuat raja2 batak berkecil hati dibawah sadarnya). Tidak boleh ada satu orang yang terlalu kuat atau dipuji dan dihormati.

Pada saat yang sama kultur Batak menjunjung komunalitas atau kebersamaan. Rumah Batak itu indah kalau berdiri bersama-sama membentuk suatu huta. Rumah Batak yang berdiri sebagai entitas tunggal spt gedung DPRD Sumut atau partungkoan Tarutung itu tampak janggal, aneh atau kesepian (lungun). Jadi saran saya kepada BPODT jangan bangun rumah Batak (tunggal) melainkan bangunlah kampung Batak dengan alaman sebagai sentrumnya.

Kesetaraan (hadosan) ini juga nilai utama dalam kekristenan. Semua kita adalah setara: sama2 ciptaan dan citra Allah, mulia dan terhormat. Dalam kekristenan juga tidak ada kasta. Kita adalah sesama manusia. Dengan semua perbedaan dan keunikan masing2 kita adalah sederajad sebab itu kita dapat bersaudara dan bersahabat.

Dan dunia moderen juga sangat menjunjung kesetaraan itu. Kita adalah mitra sejajar. Modernitas menolak diskriminasi berdasarkan apapun. Rasialisme adalah kejahatan. Sebaliknya meritokrasi atau penghormatan berdasar prestasi dipuji.

Percayalah institusi atau organisasi Batak, Kristen dan moderen yang menolak kesetaraan akan gagal.

Dalam organisasi yang anggota-anggotanya sangat menghayati dan menjunjung kesetaraan maka kata kunci kepemimpinan adalah sahala atau wibawa. Bukan kekuasaan atau kekuatan atau kekayaan. Orang Batak hanya mau tunduk kepada pemimpin yang didakunya marsahala atau berwibawa.

Nilai keempat: budaya sentrifugal atau gerak menyebar (manjae, manosor, marserak). Saya belum menemukan istilah yang paling pas. Namun pengamatan saya budaya batak bersifat sentrifugal (gerak menyebar) dan bukan sentripetal (memusat).

Desentralisasi dan bukan sentralisasi. Komunitas-komunitas Batak selalu memecah, menyebar dan membelah diri baik akibat konflik atau kelangkaan atau pengejaran kehidupan yang lebih baik seperti perantauan. Dan setiap usaha sentralisasi atau akumulasi kekuasaan selalu mengalami resistensi atau perlawanan dalam jiwa Batak. Setiap keluarga, huta atau komunitas memiliki otonomi atau kedauladan. Lain padang lain belalangnya. Sidapot solup do na ro. Setiap tempat punya adat atau ukurannya.

Hal ini tidak perlu dirisaukan. Alkitab juga menolak akumulasi kekuasaan seperti dalam kisah menara Babel. Yesus menyuruh murid-muridNya keluar dan menyebarkan Injil. Kepelbagaian yang tumbuh sebagai konsekuensi pergerakan keluar diterima sebagai kekayaan rahmat Tuhan.

Dunia moderen juga menjunjung kultur sentrifugal atau desentralisasi ini. Modernitas tidak lagi membayangkan dunia dengan satu poros atau satu titik pusat melainkan sebuah jala raksasa dengan jutaan atau miliardan simpul. Setiap pribadi, komunitas, organisasi adalah simpul dan sama penting.

Apa artinya? Jangan pernah membayangkan dapat membangun orang Batak Kristen Moderen dalam satu organisasi terpusat dan hirarkis. Orang Batak Kristen moderen punya 10.000 atau bahkan 1 juta parsadaan atau persatuan. Jangan pernah bermimpi mengkooptasi dan mengendalikan seluruh orang Batak entah dengan maksud baik atau jahat. Pemahaman ini mendorong kita kepada nilai kelima.

Nilai kelima: konektivitas (hadomuan). Sintahon oma do Batak i kata pameo. Artinya orang Batak itu seperti tanaman merambat yang bila satu cabangnya disentak maka semua akan bergetar karena terhubung satu sama lain.

Relasi dalihan na tolu dan perjanjian marga menghubungkan semua orang Batak di seluruh seantero dunia. Dan dalam kehidupan sehari-hari orang Batak selalu mencari(-cari) pertalian darahnya dengan orang lain apalagi yang dipandang penting. Ruang-ruang Batak seperti halaman, onan, pesta, atau gereja adalah ruang perjumpaan atau pertemuan yang membangun hubungan.

Kekristenan semakin memperkuat konektivitas ini melalui persaudaraan seiman dan segereja. Orang Kristen dan anggota2 satu gereja bisa merasa begitu dekat satu sama lain walaupun berbeda-beda asal usul.

Kata kunci dalam era moderen apalagi milenial adalah: konektivitas. Teknologi internet telah menghubungkan semua manusia di berbagai belahan dunia ini.

Apakah yang terjadi dalam suatu komunitas atau institusi yang beranggotakan Batak, Kristen dan moderen? Konektivitas sungguh2 adalah kata kunci yang menentukan. Itu juga berlaku dalam program pengembangan wisata danau Toba dan komunitas diaspora Batak Nusantara atau mancanegara. Tugas kita bukan melebur melainkan menghubungkan titik-titik (conecting the dots) itu. Saat ini ada lebih 61.000 orang HKBP dari seluruh penjuru berhimpun dalam group Facebook HKBP dalam Berita dan berinteraksi sangat intensif selama 24 jam sehari selama bertahun-tahun. Ini sungguh kekuatan luar biasa yang dapat juga dipakai untuk kebaikan Danau Toba.

Daniel Taruliasi Harahap
KEEMPAT:

Di akhir paparan saya di sarasehan diaspora Batak tersebut saya menekankan 3(tiga) syarat mutlak untuk pengembangan danau Toba sebagai destinasi wisata.

(1) Ias (bersih). Kita harus secara serius dan sistematik menjadikan haiason (kebersihan) sebagai perilaku, kebiasaan (hasomalan), nilai dan karakter (parange) kita. Saya menantang pemerintah, pemimpin agama dan pemimpin adat di sekitar danau Toba menjadikan kebersihan sebagai aturan, kesaksian dan teladan hidup sehari-hari. Saya pikir pemimpin agama dan adat juga pemerintah harus malu jika tidak punya lagi wibawa mendidik orang2 yang dipercayakan kepadanya agar hidup bersih dan menjaga kebersihan danau, sungai, kampung, ladang dan hutan. Jangan bicara banyak dan tinggi jika rumah, gereja, kampung, jalan dan pasar kita jorok penuh sampah plastik. Saya percaya jika Tanah Batak dan Danau Toba benar2 terkenal sangat bersih maka turis akan datang.

(2) Rata (asri). Mari kita gunakan semua kekuatan, pengaruh dan jaringan kita menghijaukan kawasan Toba dengan sebanyak2nya pohon2 lokal dan berguna langsung bagi masyarakat agar mata air kembali hidup. Kita harus mampu menjadikan menanam dan merawat pepohonan sebagai bagian adat, kewajiban agama dan perintah negara. Bukan lagi sekadar seremoni artifisial atau basa-basi. Adat kita bukan hanya urusan domestik (kelahiran, perkawinan dan kematian) melainkan juga menanam dan merawat pepohonan. Agama kita bukan hanya bernyanyi dan berdoa di gereja melainkan membersihkan sungai dan danau secara berkala. Hobi dan keahlian kita bukan hanya minum tuak dan berdebat tentang politik nasional melainkan juga mengatasi problem lingkungan sekitar kita.

(3) Demak (aman). Tugas dan tanggungjawab pemimpin agama dan pemimpin adat di sekitar danau Toba untuk mendidik umat atau anggotanya agar sungguh-sungguh hidup jujur: tidak mau mencuri, tidak mau menipu atau curang, dan tidak mau menyakiti orang lain. Kita semua harus mampu menjadikan Tanah Batak sebagai tempat yang paling aman di dunia bagi penduduknya maupun pengunjungnya. Wisata Danau Toba pasti maju dan berkembang. Wisatawan dari manca negara pasti akan berdatangan ke kampung kita.

Saya berpikir sederhana saja. Saya tidak akan mau capek-capek dan mengeluarkan biaya mengunjungi suatu tempat yang jorok, gersang dan tidak aman. Tentu orang lain demikian juga. Sebab itu kebersihan, keasrian dan keamanan danau Toba persoalan hidup atau mati bagi kita. Toba dan seluruh Tanah Batak wajib benar2 bersih, asri dan aman. Kita mesti lakukan usaha sistematik dan massiv serta kontinu untuk itu.

Agar kebersihan, keasrian dan keamanan ini tidak tinggal teori atau slogan maka masing2 kita bertanggungjawab atas wilayah yang berada dibawah kendali dan pengaruh kita masing2. Jika anda pemimpin kecil yang anda kendalikan terjamin bersih, asri dan aman. Sebaliknya jika anda pemimpin besar anda bertanggungjawab atas kebersihan, keasrian dan keamanan wilayah besar yang anda kuasai. Jangan berdalih. Mulailah dari diri dan posisi Anda sendiri.

Jangan mendaku sebagai orang pintar, sekolahan, beradat dan beragama atau berkuasa jika tak mampu menyelesaikan masalah sendiri. Jangan mendaku sebagai raja adat, pimpinan gereja, pemerintah jika tidak sanggup membuat kawasan Toba benar2 bersih, asri dan aman.

KELIMA

Saya di Sarasehan Diaspora Batak untuk pengembangan pariwisata Danau Toba adalah peserta. Bukan narasumber yang habis bicara satu jam lantas pulang. Saya ikuti semua prosesnya. Dan diskusi itu sendiri diselenggarakan di Parapat danau Toba sendiri sehingga peserta langsung melihat secara dekat apa yang sedang dibicarakannya.

Dalam FGD saya masuk di panel yang membahas SDM parawisata Danau Toba. Disini saya makin sadar betapa beratnya problem. Ternyata di sekitar danau Toba belum ada akademi perhotelan. Ternyata delapan bupati yang beesentuhan langsung dengan danau Toba belum cukup serius bersinergi mengatasi masalah dan meraih mimpi. Ternyata ada banyak sekali masalah dan konflik tanah di Toba. Ternyata BPODT belum punya kantor. Ternyata pesta danau Toba yang diadakan di Silalahi bersamaan dengan sarasehan ini sepi. Ternyata ini dan itu.

Kelompok kami merekomendasikan kepada BPODT untuk melakukan serangkaian pelatihan (jangka pendek, menengah dan panjang) untuk mengatasi kekurangan SDM parawisata ini. Kami juga mengusulkan agar BPODT mengadakan minimal tiga perlombaan:

(1) lomba mendesain kaos atau T-shirt cenderamata dari Danau Toba yang desainnya enak dipandang dan bangga dikenakan (bukan desain plagiat atau contekan dari Jogja atau Bali).

(2) lomba mendesain kain batik khas Batak (bukan secara naiv memindahkan desain gorga dinding rumah untuk dikenakan di tubuh) dan

 (3) lomba desain cenderamata khas danau Toba yang dapat dikerjakan perajin lokal dengan bahan2 lokal.

KEENAM

Di sela-sela sarasehan saya teringat kembali apa yang beberapa kali saya kotbahkan. Problem besar yang dihadapi komunitas Batak Kristen sekarang adalah pandelean atau keputusasaan. Banyak dan berat serta kompleksnya bahkan carut-marutnya masalah membuat banyak orang akhirnya putus asa. Bisakah kita pertama-tama mengatasi problem pandelean atau keputusasaan banyak orang ini? Tanpa itu saya pikir usaha menjadikan Danau Toba sebagai destinasi parawisata internasional akan gagal.

KETUJUH

Hari terakhir sarasehan saya didaulad untuk melayani ibadah minggu di hotel. Saya tak kuasa menolak namun saya jujur mengatakan tidak membawa perlengkapan kependetaan saya seperti jubah. Ibadah minggu pun kami lakukan sederhana dan khidmad. Sebagai bangsa penyanyi Toni P Sianipar langsung mengambil alih gitar mengiringi ibadah.

Vokal Group Karo menawarkan diri mengisi lagu. Juga duet Choky Pakpahan Sugiama dan Nenty Harianja. Saya sendiri kotbah 10 menit dengan tema: Yang tidak mau kerja tidak usah makan (2 Tes 3:10-12).

Sebab itu kerjalah baik-baik. Opung kita Adam bekerja di Taman Eden. Allah Bapa kita kerja. Yesus Tuhan kita juga kerja sebagai tukang mebel. Kita anak-anakNya sebab itu harus kerja. Persembahan uang kali ini tidak ada. Cukup hati saja.

Daniel Taruliasi Harahap bersama rombongan di Jangga Dolok.
 KEDELAPAN

Acara sarasehan ditutup dengan berlayar ke Tuktuk menggunakan kapal milik Pemda. Yang pertama saya lakukan spontan memeriksa pelampungnya. Kedua merenung kenapa struktur kapal ini begitu tinggi seakan ingin menantang angin. Ketiga: mengerenyitkan kening melihat dua patung ganjil besar di anjungan kapal yang saya tak paham makna apalagi manfaatnya. Tapi begitu kapal bertolak saya lupa dengan kekuatiran saya terbuai oleh nyanyian PS Concolatio dan peserta. Namun sekali-sekali saya masih mengeluhkan dalam hati mengapa danau Toba tak lagi berwarna biru. Kami berlabuh di Tabo Cottage milik Annette Horschmann di Tuktuk. Saya melihat cottage itu ditata sangat apik membangkit harapan di dalam hati.

Pertemuan pun ditutup dengan menyanyikan O Tano Batak. Direktur Utama BPODT Ari Prasetyo menyampaikan sambutan. Dan entah kenapa saya tiba2 diminta menyampaikan closing statement. Saya tidak punya persiapan. Saya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam hati saya saja:

"Danau Toba ini sesungguhnya adalah ibu kita. Ya kita harus memperlakukannya dengan lembut kasih dan hormat seperti kita memperlakukan dainang pangintubu, yang dari rahimnya kita lahir, yang dari air susunya kita hidup, dan dari peluh dan air matanya kita terlindung. Hanya anak2 bejat dan durhakalah yang tega merusak dan memperkosa ibunya sendiri. Dan pasti hidup terkutuk".*

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.