Legenda Horbo Jolo-Horbo Pudi, Ismenya Masih Tertancap di Sanubari Keturunan Simanjuntak
Meski Sudah Ratusan Tahun
MEDAN, Kisah horbo jolo-horbo pudi (kerbau depan-kerbau belakang) oleh klan marga Simanjuntak sebagai pemilik cerita, cukup terkenal bagi sebagian orang Batak. Legenda yang telah berumur ratusan tahun ini, tetap terasa, meski tak selalu tampak secara kasat mata. Hal itupun diakui salah seorang pemerhati budaya Batak dari komunitas Palambok Pusu-pusu, Tumpal Batara Simanjuntak , Senin malam (13/5/2019).
"Kira-kira begitulah, Raja Parsuratan anak dari boru Hasibuan merasa berat untuk berbagi waris kepada adik-adiknya yang dilahirkan boru Sihotang," jelasnya.
Budayawan Batak yang juga penulis novel Batak Ilu Ni Dainang, Tansiswo Siagian menjelaskan, istilah ini suka atau tidak masih berlaku. Sekalipun tidak selalu kasat mata bisa kita lihat, tetapi ismenya, idiologinya masih tertancap di sanubari keturunan ke dua pihak. Dia bagaikan api dalam sekam.
"Saya tidak pada posisi mengungkit penyebabnya atau latar belakangnya. Tetapi jika saya katakan hal ini masih ada yang meneruskannya, dia tidak lepas dari unsur pihak ketiga. Sebab dalam budaya Batak 'tampulon aek do na marhaha maranggi', dia tidak bisa dipisahkan. Satu lagi dalam Budaya Batak ada pepatah 'sada lulu anak, sada lulu boru do na mardongan tubu'. Artinya kapan pun dan dimanapun yang abang adik itu mestinya harus bersatu separah apapun persoalan yg tumbuh di antara mereka.
Menurut salah satu sumber legenda horbo jolo-horbo pudi bermula dari nenek moyang marga Simanjuntak Raja Marsundung yang menikah lagi dengan Boru Sihotang setelah istrinya boru Hasibuan meninggal. Setelah Raja Marsundung meninggal dan mewariskan banyak harta, termasuk kerbau, terjadi perselisihan mengenai hak waris antara anak Boru Hasibuan dengan Boru Sihotang. Disebutkan dalam cerita itu, anak dari Boru Hasibuan memperoleh hak atas bagian depan kerbau, sedangkan anak dari Boru Sihotang mendapat bagian belakang kerbau.
Singkatnya saat kerbau beranak-pinak, masing-masing mengklaim sebagai pemilik yang utuh. Anak dari Boru Sihotang menyebut tidak mungkin kerbau beranak dari depan. Sehingga mereka merasa memiliki secara utuh kerbau-kerbau itu. Sebaliknya, anak dari Boru Hasibuan menyebut, kerbau tidak akan beranak pinak bila tidak makan bila tidak ada bagian depan kerbau.
Perselisihan pun memuncak, saat salah satu pihak membunuh saudaranya. Pihak yang terbunuh kemudian bersumpah dengan menyebut sampai kapanpun kedua abang beradik ini tidak akan pernah bisa akur.
Demikianlah meski legenda ini sudah berusia ratusan tahun, namun ismenya belum hilang sepenuhnya. Konon, 'kutukan' itu pun masih berlaku hingga sekarang. Disebut-sebut, bila keduanya bertemu atau menumpang dalam satu bus, bakal ada peristiwa ganjil yang terjadi.
Bagi marga Simanjuntak, cerita itu bisa dibilang hanya legenda belaka. Tidak ada perselisihan nyata di antara abang-beradik seperti yang dikisahkan dalam cerita itu.
"Kami tidak pernah berselisih dan justru pengertian yang berabang-adik. Justru yang mencampuri dan membuat cerita ini tetap terpelihara karena pihak (marga) yang lain," kata Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), yang merupakan antropolog.
sumber : MB
MEDAN, Kisah horbo jolo-horbo pudi (kerbau depan-kerbau belakang) oleh klan marga Simanjuntak sebagai pemilik cerita, cukup terkenal bagi sebagian orang Batak. Legenda yang telah berumur ratusan tahun ini, tetap terasa, meski tak selalu tampak secara kasat mata. Hal itupun diakui salah seorang pemerhati budaya Batak dari komunitas Palambok Pusu-pusu, Tumpal Batara Simanjuntak , Senin malam (13/5/2019).
"Kira-kira begitulah, Raja Parsuratan anak dari boru Hasibuan merasa berat untuk berbagi waris kepada adik-adiknya yang dilahirkan boru Sihotang," jelasnya.
Budayawan Batak yang juga penulis novel Batak Ilu Ni Dainang, Tansiswo Siagian menjelaskan, istilah ini suka atau tidak masih berlaku. Sekalipun tidak selalu kasat mata bisa kita lihat, tetapi ismenya, idiologinya masih tertancap di sanubari keturunan ke dua pihak. Dia bagaikan api dalam sekam.
ILUSTRASI |
Menurut salah satu sumber legenda horbo jolo-horbo pudi bermula dari nenek moyang marga Simanjuntak Raja Marsundung yang menikah lagi dengan Boru Sihotang setelah istrinya boru Hasibuan meninggal. Setelah Raja Marsundung meninggal dan mewariskan banyak harta, termasuk kerbau, terjadi perselisihan mengenai hak waris antara anak Boru Hasibuan dengan Boru Sihotang. Disebutkan dalam cerita itu, anak dari Boru Hasibuan memperoleh hak atas bagian depan kerbau, sedangkan anak dari Boru Sihotang mendapat bagian belakang kerbau.
Singkatnya saat kerbau beranak-pinak, masing-masing mengklaim sebagai pemilik yang utuh. Anak dari Boru Sihotang menyebut tidak mungkin kerbau beranak dari depan. Sehingga mereka merasa memiliki secara utuh kerbau-kerbau itu. Sebaliknya, anak dari Boru Hasibuan menyebut, kerbau tidak akan beranak pinak bila tidak makan bila tidak ada bagian depan kerbau.
Perselisihan pun memuncak, saat salah satu pihak membunuh saudaranya. Pihak yang terbunuh kemudian bersumpah dengan menyebut sampai kapanpun kedua abang beradik ini tidak akan pernah bisa akur.
Demikianlah meski legenda ini sudah berusia ratusan tahun, namun ismenya belum hilang sepenuhnya. Konon, 'kutukan' itu pun masih berlaku hingga sekarang. Disebut-sebut, bila keduanya bertemu atau menumpang dalam satu bus, bakal ada peristiwa ganjil yang terjadi.
Bagi marga Simanjuntak, cerita itu bisa dibilang hanya legenda belaka. Tidak ada perselisihan nyata di antara abang-beradik seperti yang dikisahkan dalam cerita itu.
"Kami tidak pernah berselisih dan justru pengertian yang berabang-adik. Justru yang mencampuri dan membuat cerita ini tetap terpelihara karena pihak (marga) yang lain," kata Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), yang merupakan antropolog.
sumber : MB
Tidak ada komentar