Dibalik Terciptanya Lukisan Sisingamangaraja XII

Penulis : J. Anto

Tahun 1954, Augustin Sibarani menghadiri suatu pertemuan besar keluarga masyarakat Tapanuli di gedung Adhuc Stadt (gedung Bappenas) Jakarta. Augustin Sibarani saat itu dikenal sebagai pelukis karikatur yang karyanya dimuat di sejumlah surat kabar seperti Merdeka, Pedoman, Siasat, Pemandangan, juga Waspada dan Mimbar Umum di Medan.


 Ia diundang oleh Panitia Sisingamangaraja XII. Pada acara itu, ia berjumpa dengan Sutan Paguruban Pane, ayah dari pengarang ternama Sanusi Pane dan Armjn Pane, juga juru tulis (klerk) saat Pemerintah Hindia Belanda di Sibolga masih berkuasa. Panitia meminta Sibarani menggambar wajah Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan Sutan Paguruban.

Pelukis kelahiran Pematang Siantar tahun 1925 itu lalu membuat 10 sketsa yang lalu diperlihatkan kepada semua panitia, diantaranya Mulia Panggabean, Manalu, Pansur Tobing (cucu Sisingamangaraja XII) R.O.S. Simatupang dan lain-lain.
“Satu dari sepuluh sketsa yang saya buat itu, menurut Sutan Paguruban sudah ada miripnya. Ia meminta saya agar menyempurnakannya dan menganjurkan agar saya berangkat ke Sumatera Utara untuk menemui tokoh-tokoh lain yang mengenal Sisingamangaraja XII.”

Lukisan versi Zaini

Nukilan kisah itu terdapat pada Bab XII buku Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja II yang ditulis Sibarani sendiri. Bagian akhir buku yang ditulis Srani, begitu ia kerap membubuhkan inisial namanya pada karikatur-karikaturnya yang oleh Ben Anderson disebut “serem” dan nakal, merupakan pertanggungjawabannya sebagai seniman.

Namun usai pertemuan, ia tak jadi pergi ke Sumut karena tak dapat ongkos dari panitia. Setelah itu ide pembuatan gambar Sisingamangaraja XII menguap. Tahun 1957 seorang tokoh masyarakat Batak, Joramel Damanik, mengirim pelukis terkenal Zaini ke Sumut menemui keluarga Sisingamangaraja. Di Medan, Zaini melakukan riset. Namun seteah selesai, pihak Keluarga Sisingamangaraja XII menyebut lukisan itu terlalu gemuk. Setelah itu pembicaraan tentang lukisan Sisingamangaraja XII kembali tidak ada kelanjutannya meski tiap tahun diadakan peringatan hari meninggalnya Sisingamangaraja XII.


Tahun 1961, pemerintah memutuskan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sisingamangaraja XII. Persoalan gambar Sisingamangaraja XII muncul lagi.
Pada Agustus 1961, Sibarani didatangi dua tokoh panitia Sisingamangaraja, Kolonel Rikardo Siahaan, seorang tokoh pejuang Medan Area, dan ayah dari Semsar Siahaan. Semsar adalah seorang pelukis aktivis yang pernah kena gebuk tentara pada demo menentang pembreidelan Majalah Tempo, Tiras dan Tabloid Detik, tahun 1994. Waktu itu Kolonel Rikardo datang bersama Kapten Sinaga.

Mereka meminta Sibarani untuk merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII.
Berbekal uang Rp 60.000 yang diberikan (jumlah yang lumayan waktu itu), bersama Batara Lubis dan Amru Natalsya, Sibarani berangkat Sumut. Di Medan mereka bertemu dengan seorang pensiunan bupati, HF Sirumorang, yang merupakan putra dari Ompu Babiat Situmorang, salah satu panglima perang Sisingamangaraja XII dalam perang melawan pasukan Belanda.

Bertemu Ompu Babiat Situmorang

HF Situmorang menyarankan Sibarai, Batara Lubis dan Amrus Natalsya bertemu dengan Raja Ompu Babiat Situmorang di Harianboho, Dairi yang tak lain, ayahnya sendiri.
“Pertemuan saya dengan Raja Ompu Babiat Situnorang memang amat mengesankan,” tutur Augustin dalam bukunya. Tinggi bada Sisingamangaraja XII hampur sama dengan Ompu Babiat. Jika Sisingamangaraja memakai ikat kepala, maka tinggi Sisingamangaraha XII sekitar 2 meter.

“Penjelasan terpenting yang saya dapat dari Raja Ompu Babiat, ialah tentang wajah Sisingamangaraja. Memang Sisingamangaraja ada miripnya dengan Raja Buntal, puteranya. Tapi wajah Raja Buntal lebih bundar, sedang wajah Sisingamangaraja agak lonjong seperti lonjongnya wajah putera Sisingamangaraja yang lain yaitu Raja Sabidan. Ia mengatakan, kalau Raja Buntal bisa saya padukan dengan wajah Raja Sabidan, maka saya akan bisa melihat wajah Sisingamangaraja.”

Ompu Babiat juga menerangkan ciri fisik lain Sisingamangaraja XII: tidak berkumis karena suka dicabutin pakai pinset, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-ujungnya dan agak mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di belakang kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya mancung tapi agak besar, dan dahinya lebar.

Di Siantar, Sibarani memperoleh foto Raja Buntal dan Raja Sabidan. Berbekal riset itu, saat tiba di Medan, ia berkunjung ke rumah Raja Barita Sinambela untuk meminta restu. Tak terduga di rumah itu, Sibarani berjumpa dengan Patuan Sori, putera Raja Buntal. Patuan Sori inilah yang oleh Sibarani dijadikan model lukisannya.

“Tapi saya tekankan bahwa bukan Patuan Sori yanh akan saya lukis. Tapi ada ciri-ciri khas dati Patuan Sori yang saya anggap sesuai dengan keterangan Raja Ompu Babiat, yaitu alis matanya yang tebal dan matanya yang agak besar mencekam.”

Koreksi dari Kakak Lopian

Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani membutuhkan model. Dia mengunjungi Raja Barita Sinambela sekaligus meminta restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII. Kebetulan di rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia memiliki alis mata yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu Babiat Situmorang.
Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model, kata Sibarani.

Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian Sisingamangaraja XII berpose di hadapan Sibarani. Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah iparnya di Medan yang tak jauh dari rumah Raja Barita Sinambela. Semula ia berharap Batara Lubis dan Amrus Natalsya ikut membantu melukis. Namun sebagai pelukis dekoratif, Lubis tak tertarik berselera melukis potret karena bukan keahlian mereka. Akhirnya Sibarani melukis sendirian Amrus dan Batara Lubis membantu menyediakan kelam dan mengerjakan pemasangan kanmvas serta membuat warna dasar.

Setelah selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga Sinambela merestui lukisan Sisingamangaraja XII karya Sibarani itu.

Lukisan Sisingamangaraja XII lalu diserahkan kepada Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 10 November 1961. Namun, tidak jadi karena masih harus menunggu seseorang persetujuan dari kakak kandung Lopian, putri Sisingamangaraja XII yang meninggal bersama ayahnya. Kakak Lopian sudah sepuh waktu itu telah berusia 72 tahun. Ia meminta Sibarani mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII tidak begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus dibesarkan sedikit, dan alis matanya terlalu tebal.

Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang tongkat itu pun selesai, kata Sibarani. Kolonel Rikardo Siahaan bersama Sitor Situmorang lalu mengambil lukisan itu.

Begitulah, dari tangan Sibarani, terciptalah gambar Pahlawan Nasional dari tanah Batak, Sisingamangaraja XII. Gambar Sisingamangaraja XII tak hanya menghiasi buku-buku sejarah, tapi juga pernah menghiasi uang kertas rupiah dengan nominal Rp 1000.
Sebagai seniman Sibarani mengaku bahwa ia tidak melukis wajah Sisingamangaraja XII berdasar imajinasinya semata.

“Jadi lukisan (Sisingamangaraja, pen), tidak dikarang-karang atau hanya berdasarkan imajinasi.”
 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.